Demak [18 September, 2025]– Diskusi ilmiah bertajuk “Bedah Buku Kesultanan Demak Bintara: Poros Maritim Nusantara Abad XV–XVI” digelar dengan menghadirkan Selaku Kaprodi Magister HES dan Dosen Fakultas Agama Islam Unwahas, Ali Romdhoni, M.A., Ph.D., sebagai narasumber utama (Penulis Buku). Acara tersebut dipandu oleh moderator Hastin serta dibuka oleh Kepala Dinas setempat.
Dalam pemaparannya, Ali Romdhoni menguraikan isi buku trilogi mengenai Kesultanan Demak yang menjadi basis kajian maritim Nusantara pada abad XV hingga XVI. Buku ini lahir dari studi mendalam yang juga melibatkan penelitian lintas negara, termasuk kunjungan ke Kesultanan Abidin Trengganu, Malaysia, serta penelusuran jejak kerajaan Campa di Vietnam hingga India.
“Jejak Islam di Nusantara salah satunya melalui Campa. Hingga kini, suku Campa masih bertahan, tersebar di Vietnam, Kamboja, hingga Indonesia. Bahkan, ada mahasiswa dari suku Campa yang kini berkuliah di Universitas Wahid Hasyim (Unwahas),” ungkap Romdhoni.
Romdhoni menegaskan bahwa pengaruh Kesultanan Demak meluas hingga ke Maluku, Ternate, Banjarmasin, Makassar, Lombok, Banten, Palembang, bahkan Malaysia dan Samudra Pasai. Ia menyebut bahwa Demak memiliki hubungan erat dengan Malaka yang kala itu menjadi pusat perdagangan internasional.
“Siapa yang menguasai Selat Malaka akan menjadi penguasa dunia. Malaka memang direbut Portugis pada 5 Agustus 1511, namun Demak adalah satu-satunya kerajaan yang berani menyerang Portugis hingga lima kali,” jelasnya.
Menurut Romdhoni, Demak dan Malaka berperan penting dalam Islamisasi Nusantara sekaligus mitra dagang utama dalam komoditas hasil bumi. Demak dikenal dengan beras Jawa, sementara Maluku menyumbang cengkeh, Aceh menghasilkan lada, Nusa Tenggara kaya dengan pala dan vanila, Kalimantan memiliki kayu gaharu, serta Jawa dikenal dengan kayu jati yang tangguh di lautan.
Pentingnya Demak dalam sejarah Nusantara terletak pada peran strategisnya sejak abad XV–XVI sebagai poros perdagangan dan pusat dakwah Islam. Demak tidak hanya membangun jaringan dagang, tetapi juga jaringan intelektual keagamaan melalui murid-murid Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, hingga Syeikh Siti Jenar.
“Hubungan dagang antara Demak dan Malaka tidak sekadar pertukaran komoditas, tetapi juga menjadi sarana penyebaran dakwah. Jadi, Islam datang ke Nusantara bukan hanya melalui pedagang, tetapi juga para pendakwah yang memanfaatkan jalur perdagangan,” papar Romdhoni.
Ditengah sesi diskusi, Romdhoni juga mengaitkan kondisi masa lalu dengan situasi kontemporer. Ia menyinggung gagasan almarhum Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang “Segitiga Dagang Duni yang diantaranya Beijing (Cina), India, dan Indonesia” serta fenomena penguasaan Selat Malaka saat ini.
“Sayangnya, posisi strategis Selat Malaka kini lebih didominasi Singapura. Lebih dari 70 persen arus perdagangan dunia melewati Singapura, sementara Malaysia hanya 20 persen, dan Indonesia tinggal 2 persen,” ujar Romdhoni.