CRMS Selenggarakan Seminar dan Bedah buku Filsafat Untuk Pemalas: Setiap Orang adalah Filsuf

Center for Religious and Moderation Studies (CRMS), Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim (FAI Unwahas) Semarang, bekerjasama dengan Kompas Gramedia menyelenggarakan seminar dan bedah buku Filsafat Untuk Pemalas yang bertema “Membangkitan Curiosity dalam Mimbar Akademik dan Mahasiswa di Era AI ( Artificial Intelegensi”.
Narasumber pada seminar ini adalah Dhofir Zuhri (Penulis Buku Filsafat Untuk Pemalas), Ali Romdhoni ( Dosen FAI Universitas Wahid Hasyim), Imam Khoirul Ulumuddin (Moderator). Seminar yang akan dilangsungkan di VI Gedung Dekanat Unwahas pada Selasa (13/5/2024) mulai pukul 08.00-12.00. WIB.

Acara tersebut diawali oleh sambutan yang dimpimpin oleh Dr. Iman Fadhilah, selaku dekan Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim, Ia menyatakan ucapkan trimakasih atas kehadiran dari berbagai pihak.
” Alhamdulillah kita bisa menghadirkan beliau, karena susah sekali, lewat Pak Budi, kita bisa menghadirkannya. Tidak hanya ilmunya saja yang kita serap. Barokahnya juga kita serap, selamat berdiskusi trimakasih kepada semuanya yang telah hadir pada acara ini,” pungkasnya.

Tedi Kholiluddin, Direktur CRMS, menambahkan tentang pentingnya berfilsafat, namun dalam mengkaji filsafat harus berbagai cara supaya dapat dipahami dengan mudah. Seperti halnya filsafat yang dikenalkan oleh Gus Dhofir adalah cara pandang baru mengenalkan filsafat.

“Filsafat yang dikenalkan oleh Gus Dhofir lebih dekat dengan kita, lebih dekat dengan masyarakat, lebih populer, lebih bisa menyelami kehidupan yang sangat dekat dengan kita sekarang. Oleh karena itu, tema-tema dalam bukunya tentang kebahagiaan, cinta, perdamaian, ini ditilik dari sudut pandang filsafat yang lebih mendekatkan diri kepada masyarakat yang lebih luas,” Jelasnya.

Foto bersama usai kegaiatan Bedah Buku Filsafat untuk Pemalas

Memasuki acara inti, Gus Dhofir menceritakan alasan menulis buku tersebut. Buku yang Ia tulis tidak hanya satu, tetapi ada buku lainnya, namun buku filsafat yang sudah pernah diterbitkan jarang peminatnya. Karena dianggap terlalu berat.

“Dulu saya menulis buku buku ilmiah gak laku, ya memang sangat ilmiah. Kelihatan pinter. Namun itu hanya M
Mastrubasi bagi penulis saja,” jelasnya.

Kemudian Ia merubah cara dan gaya penulisan karyanya, dengan melihat pasar serta konteks generai muda sekarang, yang hanya membaca dari media sosial, baik berupa video atau konten-konten singkat.

“Saya bergeser cara menulis. Generasi Gen Z hanya membaca 4 sampe 5 paragraf. Hanya baca quote quote. Dan ini mulai banyak diterima. Ringan dan sederhana,” tambahnya.

Ia menambahkan bahwa filsafat diterjemahkan secara keliru oleh kurikulum di kampus-kampus dan sekolah-sekolah, kaku dan sistematis. Padahal filsafat keseharian kita, cara menemukan makna hidup dan nilai-nilai kebaikan. Seharusnya dikenlkan dengan cara yang lebih mudah.

” Johan Cruyff mengatakan bermain bola itu mudah, tapi bermain bola dengan mudah itu susah. Dalam kehidupan sehari-hari, memulaikan orang lain, memuliakan orang tua itu merupakan sebuah filsafat. Tidak hanya yang dipelajari di teori-teori kelas-kelas,” jelasnya.

Ia menjelaskan, pertama, bahwa dalam bukunya tersebut mengambarkan keseharian manusia, menemukan makna hidup manusia. Menjelaskan filsafat merancang bangun kebenaran, dan juga merancang orang untuk kebahagiaan. Menemukan hidup lebih bermakna, serta belajar mensyukuri hidup.

Kedua dalam bukunya menjelaskan tentang sesuatu yang ada. Sesutu yang ada dan siapa yang mengadakan. Eksistensi dan hakikat apa yang ada dan yang mengadakan. Ia mengatakan setiap orang menjadi filsuf untuk dirinya. Serta mencontohkan hal-hal yang sederhana dalam setiap argumennya.

” Bill Gate 82 miliar kali lebih kaya daripada saya. Apakah lebih bahagia 82 miliar kali dari saya? Nah itu jabatan politik akademik belum tentu bahagia. Dalam hidup sesekali tidak harus selalu menggengam, tapi sesekali harus melepas,” Jelasnya.

Ali Romdhoni, Dosen FAI Unwahas, menambahkan bahwa bercerita ketika dirinya belajar filsafat di kampus sewaktu kuliyah.

“Dulu saya diajari begini, apabila kalian nembak cewe diterima maka berbahagialah, tapi jika ditolak maka jadilah filsuf,” jelasnya.

Ia menjelaskan bahwa kerumitan di dunia kampus baik sebagai dosen atau mahasiswa dari tuntutan yang mengarah ketidakbahagian, karena di dunia akademik sudah didikte oleh sistem. Menurutnya jauh dari berfilsuf karena kebahagiaan tidak akan tercapai. Ia mencontohkan kewajiban menulis jurnal Scopus.

“Rumusan teman-tema kita diksi saja kita di dikte, kampus memiliki keterbatasan sendiri. Kita ini di dunia akademis, karya yang bagus stempel besar dari nama scopus. Struktur gaya penulisan apakah akan berpihak pada masyarakat kita? Tentu jauh, repotnya tuntuan dosen tidak berpihak pada kebahagiaan kita,” pungkasnya.

Kontributor: Mas Jaed

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *