Cangkru’an di Phnom Penh: Jejak Muslim Kamboja dan Jembatan Ilmu dengan Indonesia

Oleh: Dr. H. Iman Fadhilah

Pada 18–22 Agustus 2025, saya bersama beberapa dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Wahid Hasyim melakukan kunjungan ke lembaga-lembaga yang menjadi stakeholder kampus di Kota Phnom Penh, Kamboja. Selama beberapa hari di kota ini, kami berkesempatan melihat lebih dekat kehidupan Muslim Kamboja, bertemu dengan para tokoh agama, hingga menikmati ragam kuliner halal yang unik.

Catatan sederhana ini merekam secuil pengalaman kami selama beberapa hari di Phnom Penh. Dari mushola kecil di depan hotel, kafe halal dengan sajian walang goreng, hingga masjid-masjid yang menjadi pilar kerukunan, semuanya menyuguhkan pelajaran berharga: Islam di Kamboja tumbuh dengan damai, bersahaja, dan penuh keterbukaan.

***

Tepat di depan hotel tempat kami menginap, di seberang jalan, berdiri sebuah mushola kecil. Sayup-sayup terdengar suara adzan yang nadanya mirip dengan mushola-mushola di Semarang. Surau itu bernama Surou Tauhidullah (di Indonesia biasa disebut mushola). Selama beberapa hari, kami tinggal di dekat surau tersebut di kawasan Kilo 8 Careng Jumreh, Phnom Penh, yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Dalam perjalanan menuju penginapan, salah seorang ustadz dari An-Nikmah Islamiyah bercerita bahwa mudah mengenali siapa Muslim di Phnom Penh. “Kalau perempuan, ya dari jilbabnya. Kalau pakai jilbab berarti Muslim, kalau tidak ya bukan,” ujarnya sambil tersenyum. Sepanjang jalan kaki, kami melewati banyak warung dan toko yang berjajar. Hampir semuanya memasang label halal. “Semua halal food, karena warga di sekitar sini memang Muslim,” jelas ustadz yang menemani kami.

Tak jauh dari tempat kami tinggal, berdiri sebuah madrasah besar bernama Yayasan An-Nikmah Al-Islamiyah Phnom Penh atau ada juga yang menyebutnya An-Nikmah Institut. Lokasinya berada di Jalan No. 144E, Krom 1 Puhm 2, Sangkat Chrang Chamres 1, Khan Russey Keo, Phnom Penh. Madrasah swasta ini sudah terakreditasi unggul.

Dalam perbincangan santai dengan Mudir An-Nikmah Islamiyah, kami mendapat penjelasan bahwa tujuan utama berdirinya sekolah ini adalah menyediakan pendidikan agama Islam yang memadai bagi masyarakat Muslim Kamboja, khususnya di Phnom Penh. Sekolah ini menekankan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Islam, salah satunya melalui pembelajaran Sahsana Islam atau Pendidikan Agama Islam. Ke depan, pihak yayasan juga tengah merancang roadmap agar bisa memfasilitasi siswa dengan mata pelajaran umum sehingga alumninya dapat melanjutkan studi ke berbagai fakultas, seperti teknik, pertanian, dan bidang lainnya.

Perlu diketahui, komunitas Muslim di Kamboja tergolong minoritas. Dari seluruh populasi, jumlah umat Islam hanya sekitar 1,6%, meskipun ada data yang menyebut saat ini sudah berkembang hingga 4%. Sebagian besar berasal dari etnis Cham, yang memiliki sejarah panjang di wilayah ini. Secara historis, etnis Cham mulai memeluk Islam sekitar abad ke-16 hingga ke-17, sementara jejak masuknya Islam ke Kamboja diperkirakan sudah ada sejak abad ke-10 atau ke-11.

Beberapa sumber mencatat jumlah Muslim di Kamboja bervariasi: ada yang menyebut 5%, bahkan 6%. Mayoritas berasal dari etnis Cham atau Melayu. Mereka umumnya berakidah Sunni dan bermazhab Syafi’i, dengan konsentrasi terbesar di wilayah Kampong Cham. Sebagian ada yang aktif dalam Jamaah Tabligh. Untuk memperdalam ilmu agama, banyak Muslim Cham yang belajar di Kelantan (Malaysia) atau di sejumlah universitas luar negeri, seperti di Mesir, Malaysia, India, Madinah, hingga Indonesia. Salah satunya, cukup banyak mahasiswa asal Kamboja yang menempuh studi di Universitas Wahid Hasyim, Semarang.

Dari sisi kelembagaan, seluruh urusan keagamaan umat Islam berada di bawah otoritas Majelis Tertinggi Pimpinan Umat Islam Kamboja, yang dipimpin oleh Yang Mulia Mufti, Ustadz H. Kamarudin bin Yusuf. Lembaga ini berperan penting dalam menjaga kerukunan antara Muslim dan umat Buddha, serta membawahi sekitar 610 masjid, 630 madrasah, dan 863 surau di Kamboja. Mufti dibantu oleh tiga wakil yang masing-masing membidangi pendidikan, kesekjenan, dan keagamaan, termasuk urusan wakaf, zakat, hingga halal.

Kehidupan umat Islam di Kamboja berlangsung damai dan harmonis berdampingan dengan masyarakat Buddha dan penganut agama lain. Identitas mereka dikenal dengan sebutan Khmer Islam. Sambil jagongan, cangkru’an, dan menikmati aneka makanan khas yang enak-enak, kami merasa cara memahami Islam di Kamboja begitu menarik: sederhana, bersahaja, dan penuh kedamaian.

Beli Walang & Budaya Halal di Kamboja

Sore itu, sambil menyusuri salah satu kawasan di Phnom Penh, kami memutuskan untuk mampir di sebuah kafe. Dari kejauhan sudah tampak jelas tulisan “Halal” terpampang di papan nama warung tersebut. Kami pun masuk dan memesan beberapa makanan serta minuman sesuai selera.

Yang menarik perhatian kami, semua pelayan di kafe itu mengenakan jilbab. Dalam benak kami, hal itu menjadi tanda kuat bahwa warung tersebut dikelola oleh warga Muslim Kamboja. Untuk memastikan, salah satu dari kami mencoba bertanya kepada pelayan tentang kehalalan menu yang kami pesan. Dengan ramah mereka menjawab, “Semua makanan di sini halal.”

Namun, berdasarkan informasi yang kami dapat, proses mendapatkan sertifikasi halal di Kamboja tidaklah sederhana. Setiap produk makanan yang ingin mendapatkan label halal harus melalui dua tahapan: pertama, mendapatkan stempel halal dari Majelis Tinggi Agama Islam Kamboja, kemudian diajukan lagi ke Kementerian Perdagangan.

Majelis Tinggi Agama Islam Kamboja ini memiliki fungsi yang kurang lebih mirip dengan MUI di Indonesia. Mereka bertugas melakukan verifikasi administratif maupun faktual terkait kehalalan produk. Jika dinyatakan halal, barulah produk itu memperoleh sertifikat (sijjil). Setelah itu, pengajuan diteruskan ke Kementerian Perdagangan untuk mendapatkan stempel resmi dari negara. Menurut pengurus Majelis, Ustadz Arafat (Timbalan I) dan Ustadz Ismail, urusan halal ini ditangani langsung oleh Ustadz Raihan.

Dalam praktiknya, tidak semua pemilik warung atau restoran Muslim di Kamboja mendaftarkan usahanya untuk mendapatkan sertifikat halal resmi. Ada yang memang mengikuti prosedur hingga memperoleh sijjil halal, tetapi ada pula yang sekadar memasang tulisan atau logo halal tanpa sertifikat resmi. Bahkan, ada kasus di mana warung milik non-Muslim juga memasang logo halal meskipun tidak sepenuhnya memahami konsep halal itu sendiri.

Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari di komunitas Muslim Kamboja cukup beragam. Selain bahasa Khmer sebagai bahasa resmi, banyak juga yang menggunakan bahasa Cham. Namun untuk tamu atau urusan internasional, bahasa Inggris sering dipakai.

Soal makanan, pilihannya cukup beragam. Dari seafood, ikan-ikan segar, makanan kering, hingga hidangan unik seperti walang goreng. Rasanya gurih dan renyah, meskipun salah seorang rekan sempat berseloroh, “Jauh-jauh ke Kamboja, eh yang dibeli malah walang goreng!” — membuat kami semua tertawa.

Menyusuri Surau dan Masjid: Pilar Kerukunan Antaragama

Kamboja memiliki sekitar 610 masjid dan ratusan surau. Hampir setiap satu kilometer berdiri sebuah surau kecil yang aktif dipakai untuk beribadah. Saya penasaran dan menyempatkan diri mengikuti salat berjamaah di salah satunya.

Menurut penuturan warga, meski Muslim adalah minoritas, kehidupan berdampingan dengan umat Buddha dan penganut agama lain berlangsung rukun. “Kami di sini tenang, tidak seperti yang tergambar di media sosial. Memang dulu tahun 70-an pernah ada tragedi besar yang menimpa umat Islam, tetapi sekarang aman damai,” jelas seorang tokoh Muslim dari An-Nikmah Institute.

Kerukunan itu tampak nyata. Saat kami duduk di sebuah kedai kopi, rumah-rumah sekitar berdiri berdampingan tanpa sekat mencolok: ada yang milik Muslim, ada pula yang milik Buddha. Harmoni itu terasa biasa saja, seperti bagian dari kehidupan sehari-hari.

Praktik keagamaan mereka pun mirip dengan di Indonesia: adzan dengan lagu yang sama, dzikir setelah salat, dan jamaah yang khusyuk. Bedanya, tidak ada tradisi bersalaman setelah salat, dan jamaah perempuan umumnya melaksanakan ibadah di rumah masing-masing.

Menurut pimpinan Majelis Tertinggi Agama Islam, hal ini tidak lepas dari latar belakang pendidikan para tokoh agama Kamboja yang sebagian belajar di Malaysia, Mesir, dan sebagian lagi di Indonesia. Masjid dan surau pun tidak hanya menjadi pusat ibadah, tetapi juga sarana pendidikan, dakwah, serta ruang penguatan kerukunan antaragama.

Dalam kunjungan ke Kedutaan Besar RI di Phnom Penh, kami mendapat informasi dari Math Alpi bahwa saat ini ada sekitar 150 mahasiswa Kamboja yang sedang menempuh studi di berbagai kampus di Indonesia. Jumlah itu belum termasuk santri yang belajar di pesantren. Pada diskusi bersama Dubes RI dan tokoh Muslim dari An-Nikmah, muncul harapan agar para pelajar Kamboja membawa pulang praktik keislaman ala Indonesia: Islam yang toleran, ramah, dan damai. Islam yang terbiasa hidup berdampingan dengan keberagaman inilah yang diharapkan dapat memberi warna baru bagi kehidupan Muslim Kamboja ke depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *