Judul di atas mengesankan adanya sebuah pertarungan antara dua kutub pemikiran yang ekstrim, kiri dan kanan, atau antara pandangan konservatif dan progresif dalam merespon isu-isu perempuan. Ini memang realitas yang tengah di hadapi masyarakat muslim di banyak tempat dewasa ini. Akan tetapi ia dapat juga dipahami sebagai sebuah kondisi yang tidak jelas mengenai hak-hak perempuan dalam masyarakat dan bangsa muslim. Pandangan-pandangan keagamaan mereka terhadap isu-isu ini memperlihatkan wajah ambiguitas. Mereka tampak gamang dalam menghadapi realitas-realitas sosial baru. Modernitas yang telah mengepung mereka menjadikan mereka tidak bisa lari untuk menghindarkan diri. Meski begitu pikiran-pikiran mereka masih dipenuhi dengan terma-terma dan produk-produk intelektual klasik khas abad pertengahan di Timur tengah. Referensi-referensi keagamaan mereka masih belum beranjak dari Kutub al-Turats atau “Kitab Kuning”, sebuah istilah yang populer dalam komunitas Pesantren di Indonesia. Sebagian mereka, memandang referensi-referensi ini adalah sumber par excellent, lengkap dan mewadahi setiap kasus atau isu sepanjang sejarah. Fatwa-fatwa atau pendapat-pendapat hukum yang termuat di dalamnya dianggap sebagai hokum Tuhan yang baku. Demikian juga konsensus (ijma’) di kalangan para ahli fiqh Islam tidak bisa dilanggar.
Sampai hari ini pusat-pusat pendidikan Islam di berbagai negara berpenduduk mayoritas muslim, termasuk Indonesia, baik yang tradisional maupun yang modern, tetap mengkaji teks-teks Islam klasik tersebut dengan penuh semangat sambil mengarahkan atau mewajibkan peserta pendidikan dan mahasiswanya mengamalkan isinya dengan semangat keimanan dan keagamaan yang tinggi. Cara-cara yang digunakan dalam menjelaskan teks-teks tersebut secara umum juga masih mengacu pada sistem lama, satu arah, monolog dan doktriner.
Wacana-wacana Diskriminatif
Jika kita membaca referensi-referensi keagamaan klasik tersebut, maka tampak jelas bahwa perempuan diposisikan sebagai entitas subordinat, marginal, domestik dan bekerja atau mengabdi kepada laki-laki. Relasi laki-laki perempuan belum atau tidak setara. Laki-laki adalah pemegang kendali atas seluruh ruang kehidupan, domestik maupun publik, sementara perempuan diposisikan sebagai entitas inferior yang diatur, diarahkan harus menunggu di rumah dan harus mendengar pendapat laki-laki dan dengan hak-hak yang dibatasi. Kitab “Al Asybah wa al Nazhair”, yang ditulis oleh Imam Jalal al Din al Suyuthi, misalnya, telah merekam sejumlah aturan hukum (fiqh) yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dia menuliskan semua perbedaan tersebut dengan judul “Al Qawl fi al Untsa Tukhalif al Dzakar fi Ahkam”. Dalam buku ini tampak jelas dinyatakan bahwa laki-laki adalah pemegang otoritas kekuasaan dengan hak-hak yang penuh. Sementara perempuan diberlakukan sebaliknya. Sebagai seorang kutu buku dan penulis yang sangat produktif, Al Suyuti tentu menulis bab tersebut berdasarkan referensi-referensi yang lain yang dipandang otoritatif pada masanya. Seorang ulama terkemuka abad 19, kelahiran Tanara, Banten, Indonesia, menulis sebuah buku berjudul :”‘Uqud al Lujain fi Bayan Huquq al Zawjain”. Buku ini menjelaskan hak-hak dan kewajiban suami dan isteri dengan mengutip sejumlah besar hadits Nabi dan kisah-kisah para tokoh. Buku yang selama dua abad menjadi referensi penting dalam pendidikan keagamaan tradisional di Indonesia ini, mengemukakan pandangan yang tidak berbeda dengan karya al Suyuti di atas. Sejauh yang dapat diketahui, beberapa sumber rujukan Syeikh Nawawi ini antara lain kitab “Ihya Ulum al Din”, karya Imam Abu Hamid al Ghazali, Al Zawajir, karya Ibnu Hajar al Haitami, dan “‘Uqubat Ahl al Kabair”, karya Abu al Laits al Samarqandi.
Realitas Modern yang menggugat
Sementara demikian, realitas modern telah meniscayakan ruang-ruang yang terbuka bagi aktifitas-aktifitas perempuan di berbagai sektor kehidupan. Kaum perempuan muslim bergerak, berjalan, berekspresi dan berkreasi mengikuti arus modernitas yang tidak dapat dihentikan itu. Meskipun pelan, tapi pasti, mereka muncul di tengah komunitas yang sebelumnya hanya sah bagi kaum laki-laki. Mereka tidak hanya ahli mengendalikan mobil sedan, tetapi juga kendaraan besar, trailer dan pesawat terbang. Mereka berorasi di panggung politik praktis dengan cerdas dan memukau, sebagian tetap dengan mengenakan kerudung, sebagian lagi tidak. Meskipun masih sedikit dan belum cukup proporsional memang, akan tetapi tampilnya kaum perempuan di arena politik praktis dan kekuasaan negara, telah membuktikan bahwa mereka telah dipercaya banyak orang sebagai manusia yang cerdas dan memiliki kemampuan yang mengungguli manusia laki-laki. Berjuta-juta perempuan juga telah memasuki kerja-kerja dengan beragam profesi. Mereka bekerja di ruang yang sama dengan kaum laki-laki, relatif tanpa masalah. Berapa banyak di antara mereka yang telah menulis buku ilmiyah dan karya sastra. Berjuta-juta perempuan bermigrasi, melintas batas negara, berjuang keras untuk mencari penghidupan bagi diri dan anak-anaknya, bahkan suaminya. Keringat dan darah mereka menyumbang devisa bagi negara dengan nominal yang sangat besar. Kepergian mereka tidak lagi bersama “mahram”nya. Beribu-ribu perempuan, anak-anak ulama dan para kiyai di desa-desa, juga terbang di udara untuk melanjutkan pendidikannya di tempat yang jauh, lagi-lagi tanpa mahram personal itu.
Itu adalah wajah perempuan hari ini. Kebudayaan manusia ternyata tidak lagi sama dengan kebudayaan 10 abad yang silam. Fakta-fakta sosial, ekonomi dan politik tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa kaum perempuan muslim hari ini telah mengabaikan doktrin-doktrin keagamaan yang mereka terima di bangku pendidikan. Bahkan ketentuan hukum yang sering dikatakan sebagai kesepakatan ulama (Ijma’), misalnya, haramnya perempuan menjadi kepala negara/presiden, telah dilanggar. Fatwa-fatwa agama dan ceramah-ceramah keagamaan yang secara rutin diselenggarakan di banyak tempat, tidak lagi memberikan pengaruh signifikan bagi berjuta-juta perempuan muslim. Tradisi-tradisi lama ; “kasur, dapur dan sumur,” sebagai wilayah kerja dan peran perempuan juga telah mereka tinggalkan. Pandangan keagamaan klasik, kehendak-kehendak keagamaan konservatif dan tradisi-adat-istiadat, sudah tidak lagi mampu membendung gerak modernisme yang terus menggempur hari demi hari.
Demikianlah, kita menemukan dengan jelas pandangan dan sikap ambigu masyarakat muslim dewasa ini. Kaum muslimin tampaknya berada dalam situasi krisis identitas. Kita tidak pernah mendapatkan kejelasan secara memadai , apakah praktik-praktik kehidupan perempuan dalam zaman modern tersebut melanggar agama atau tidak?. Para tokoh agama, partai politik berbasis agama dan institusi-institusi keagamaan dalam kenyataannya membiarkan, merestui, mendukung dan memperjuangkan praktik-praktik kebudayaan baru tersebut. Akan tetapi kita tidak pernah tahu apakah ketika partai-partai politik berbasis agama mengusung presiden perempuan, dan peran politik perempuan yang lain menunjukkan bahwa mereka menyetujuinya atas dasar pandangan keagamaan atau semata-mata pandangan politik?. Apakah ketika perempuan-perempuan muslim menjadi pekerja migran yang berjalan melintas batas negara dan berbulan-bulan di sana tanpa mahram tersebut benar-benar direstui dengan kesadaran keagamaan?.
Keadaan mengambang dan ambigu tersebut sungguh membingungkan kita, di satu sisi, tetapi menyimpan bahaya yang terpendam pada sisi yang lain. Status yang tidak jelas ini dapat menjadi ancaman yang serius bagi masa depan perempuan. Mereka berada dalam posisi di antara dua kutub yang berdetak-detak. Pandangan keagamaan patriarkhis masih terus membayangi mereka hari-hari mereka.
30.10.21
Husein Muhammad